Peneliti dari Universitas Saarland Jerman dan Institut Max Planck bergabung bersama Intel dalam mengembangkan pengkreasian objek 3D digital menggunakan hasil pemindaian data 3D yang tidak lengkap. Vconv-DAE adalah sebuah enkoder otomatis volumetric konvolusional yang mempelajari representasi volumetric dari data yang rusak.
Pemindaian 3D memiliki jangkauan yang luas dalam penerapannya, mulai dari teknik reverse (reverse engineering) di bidang otomotif dan sektor penerbangan, pengumpulan data anatomi untuk keperluan pembuatan kaki palsu, hingga mencetak hasil foto selfie.
Namun, ketika pemindaian 3D yang kita lakukan tidak lengkap atau terdapat gangguan dari hasil pemindaian, maka data yang diperoleh menjadi tidak berarti untuk dirender. Memang hal ini bukan sesuatu yang jarang terjadi: pencahayaan yang kurang tepat, gerakan selama pemindaian, dan faktor lainnya dapat menghasilkan model 3D yang buruk.
Cara terbaik untuk melawan masalah tadi adalah dengan mengeliminasi pada sumbernya, dengan berinvestasi pada peralatan pencahayaan yang tepat, tatakan yang berotasi secara stabil dan berbagai macam alat yang lain. Tetapi ketika pilihan ini tidak tersedia, maka perlu jalur lain untuk dieksplorasi.
Sebuah jalur potensial baru saja dikembangkan oleh sebuah grup peneliti yang memiliki banyak sumber dan kemampuan, yang terdiri atas perwakilan dari perusahaan raksasa komputer Intel dan dua institut dari Jerman: Institut Max Planck dan Universitas Saarland di Saarbrucken.
Bersama-sama, tim multidisiplin ini telah mengembangkan VConv-DAE, sebuah enkoder pembelajaran bentuk volumetrik dari data yang rusak dengan mengestimasi grid dari voxel.
Peneliti tersebut mengatakan bahwa alat atau metode ini sempurna untuk mengatasi menghilangkan gangguan (noise) dan penyempurnaan bentuk yang dapat muncul selama penerapan pemindaian 3D.
“Walaupun teknologi pemindaian 3D telah membuat progres signifikan dalam beberapa tahun ini, tetap masih ada tantangan untuk mendapatkan gambar geometri dan bentuk dari sebuah objek yang nyata secara digital dan otomatis,” ucap Mario Fritz, pemimpin dari grup Scalable Learning and Perception dari Institut Max Planck.
Salah satu kelemahan dari perangkat keras berbasis Kinect adalah ketidakmampuan untuk mengenali secara akurat sebuah tekstur yang beragaam. Hal ini membuat permukaan yan terlalu bersifat refleksif, berbintik-bintik atau jika tidak masalah sulit untuk mengenali mungkin muncul pada data 3D yang tidak akurat-sesuatu yang mempengaruhi hasil cetak 3D.
“Hasil yang cacat atau tidak lengkap dari geometri 3D kemudian menghadirkan masalah yang nyata pada sejumlah aplikasi, seperti pada augmented reality, ketika bekerja dengan robot atau pada pencetakan 3D,” ucap Fritz.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, alat yang baru saja dikembangkan, yakni Vconv-DAE menggunakan sebuah jaringan syaraf pembelajaran dalam yang khusus untuk membangun model 3D dari himpunan data yang tidak lengkap.
Rahasia agar enkoder tersebut dapat sukses, menurut para peneliti itu adalah dengan menghindari kesalahan intuisif dari pemberian sebuah label untuk setiap objek:”hasil pelatihan sama baik dengan dengan representasi hasil, yang sangat kuat dan tidak perlu terkait dengan ide dari pemberian label dari objek,” mereka berpendapat, bahwa metode estimasi grid dari penempatan voxel mereka bekerja lebih baik.
Menariknya, teknik baru ini menawarkan performa yang kompetitif ketika digunakan untuk proses klasifikasi di samping itu juga memberikan hasil yang menjajikan untuk interpolasi bentuk.
Pada akhirnya, hal ini dapat berkontribusi pada sebuah generasi baru dari peralatan pemindaian 3D yang menyederhanakan perangkat keras seperti Kinect untuk memproduksi data 3D yang sangat akurat tanpa kehilangan satu pun informasinya. Hal ini, menurut peneliti itu, adalah hal yang lebih dibutuhkan dibanding sebuah harapan.
“Di masa mendatang, adalah sesuatu yang mungkin untuk mengambil gambar dari objek dunia nyata secara sederhana dan cepat dan mengerjakan dalam bentuk proyek yang realistis hingga mengubahnya menjadi bentuk dunia digital, ” kata Philipp Slusallek, profesor grafik komputer dari Unversitas Saarland dan scientific director dari Pusat Riset Jerman untuk Kecerdasan Buatan (DFKI).
Slusallek saat ini adalah tokoh yang memimpin proyek penelitian gabungan eropa, “Distributed 3D Object Design” DISTRO, sebuah jaringan yang membawa bersama laboratorium terkemuka pada Komputasi Visual dan Grafik Komputasi 3D di seluruh eropa dengan tujuan dari pelatihan adalah membentuk generasi baru dari peneliti, ilmuan, dan para pengusaha di bidang desain objek 3D terdistribusi, modifikasi dan perakitan.
Sumber:http://www.3ders.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar