Jumat, 22 Desember 2017

Sedikit tips untuk mencegah stringing.

Dalam proses cetak 3D, seringkali muncul benang plastik yang tipis yang seharusnya tidak dicetak Ultimaker dan print head harusnya hanya melintas dari satu area ke area yang lain. Benang plastik tipis yang tidak diinginkan ini disebut stringing. Munculnya stringing ini bisa bergantung pada pemilihan material filamen, tetapi di sini kita mendeskripsikan beberapa hal umum yang dapat Anda lakukan ketika mengalami stringing.


Proses retraksi (retraction)
Di area pada sebuah printer yang mana printer itu harus melakukan pergerakan di antara dua bagian yang akan dicetak dan Anda tidak ingin meninggalkan plastik/filamen ketika proses retraction adalah suatu hal yang penting. Hal ini berarti bahwa filamen harus ditarik sedikit oleh feeder, sehingga tidak keluar dari nozzle saat proses pergerakan di antara dua bagian yang tidak dicetak.
Retraction adalah sebuah proses pengaturan yang dapat ditemukan di perangkat lunak Cura dan ditetapkan secara default. Jika Anda ragu pada pengaturan retraction yang sedang digunakan, maka adalah hal yang bijak untuk memeriksanya. Anda juga seharusnya dapat melihat hal ini di pengaturan Layers pada Cura. Garis kecil biru gelap vertikal menunjukkan retraction pada proses pencetakan. Walaupun proses retraction mungkin saja aktif, masih celah untuk terjadinya stringing pada lokasi yang tidak diinginkan.


Temperatur
Mengurangi jumlah dari stringing, maka pengaturan temperatur atau suhu adalah kuncinya. Suhu yang tinggi mengakibatkan material (filamen) akan menjadi lebih cair yang mana akan membuat material tersebut mudah untuk menetes dari nozzle (meskipun proses retraction sudah terjadi). Dengan menggunakan temperatur yang lebih rendah, material menjadi kurang cair, sehingga mengurangi munculnya benang tipis tersebut (string).
Sulit untuk memastikan pada temperatur berapa tepatnya, karena hal ini bergantung pada material yang digunakan (bahkan warna berbeda menghasilkan hal yang berbeda juga) dan juga pada pengaturan pencetakan lain yang digunakan. Tetapi jika Anda menemukan stringing pada proses pencetakan Anda, kita merekomendasikan untuk mengurangi temperatur kira-kira setiap 10 derajat untuk menemukan pengaturan terbaik dari material yang digunakan. Kita menemukan bahwa pencetakan dengan menggunakan PLA, kita mampu mengurangi temperatur hingga menjadi 180 derajat.


Kecepatan
Selain pengurangan temperatur, kecepatan dari proses pencetakan 3D juga berperan penting. Jika Anda mengurangi temperatur, terdapat kesempatan untuk material mengalami underextruding ketika pengaturan kecepatan dari extruder (sangat) tinggi. Oleh karena itu,  disarankan untuk mengurangi kecepatan tersebut. Sebagai contoh, Anda harus mencapai suhu 180 derajat pada PLA dengan kecepatan pencetakan atau extruder kira-kira 20 mm/s.
Lebih lanjut, dengan meningkatkan kecepatan pencetakan juga dapat mencegah terjadinya stringing. Hal ini dikarenakan, ketika print head bergerak lebih cepat, material memiliki waktu/kesempatan yang lebih sedkit untuk menetes atau jatuh pada area yang bukan bagian dari pencetakan ketika nozzle berpindah ke area yang lain. Kecepatan perpindahan sebesar 200 mm/s seharusnya baik untuk sebagian besar pada proses pencetakan 3D.

Dengan pengaturan yang tepat, Anda dapat mengurangi jumlah dari stringing.
Sumber:
https://ultimaker.com

Rabu, 20 Desember 2017

Wanita asal Wales yang memiliki rahang cetak 3D pertama di dunia.

Artikel kali ini membahas penggunaan teknik cetak 3D dalam bidang kesehatan.  

Seorang wanita bernama Debbie Hawkins dari Swansea di Wales menjadi orang pertama di dunia yang memiliki rahang cetak 3D.
Wanita ini pernah memiliki tumor di tulang rahang bagian bawah yang tumbuh begitu cepat, hingga hampir menghancurkan tulang rahangnya. Setelah melalui proses konsultasi yang panjang dengan rumah sakit Morriston Swansea, disimpulkan bahwa teknik konvensional tidak mampu menghilangkan tumor itu. Sebuah pendekatan yang lebih inovatif dibutuhkan.
Dengan segala sumber daya yang mampu mereka kumpulkan, tim bedah dari rumah sakit tersebut mengembangkan sebuah metode yang kreatif untuk merekonstruksi rahang melalui teknologi cetak 3D.
Dengan menggunakan teknologi pemindai 3D untuk merencanakan operasi dalam detil yang presisi, para dokter di tim tersebut mulai bekerja membentuk ulang rahang dari Debbie melalui sebuah kombinasi dari cangkokan tulang secara tradisional dan kepingan titanium yang dicetak 3D, disesuaikan dengan anatomi rahang Debbie.

“Ketika mereka mengatakan tentang prosedur apa yang dipakai, saya takut awalnya,” kata Debbie.”Saya sungguh tidak tahu apa yang saya harapkan. Tetapi apa yang telah mereka lakukan dan rehabilitasi yang saya terima, sungguh luar biasa.”
Setelah dua minggu di rumah sakit pasca operasi, Debbie Hawkins pulang ke rumah. Dia dapat kembali bekerja dalam waktu tiga bulan.
Sebagai metode operasi yang pertama kali dilakukan, teknik dari rumah sakit Morriston ini adalah sebuah perbaikan yang sangat besar terhadap metode tradisional yang sudah ada, yang mana termasuk pada proses pengambilan beberapa centimeter tulang betis dari kaki seorang pasien untuk mengganti bagian dari rahang. Meskipun telah digunakan secara luas, metode tradisional dapat mengandung bentuk dari garis rahang pasien, namun menghasilkan rahang yang kurang layak untuk digunakan dalam proses pencangkokan (dental implan).
Teknik dari rumah sakit Morriston, di sisi yang lain, menggunakan hasil gambar CT dari Debbi, untuk merancang pelat cetak 3D titanium yang mirip secara anatomi dengan presisi untuk menahan tulang betis tetap pada tempatnya, menjaga bentuk estetika alami dari garis rahang. Panduan pemotongan (cutting guide) yang dibuat tim itu untuk memastikan bahwa tulang yang diambil dari tulang betis sesuai/pas dengan bagian rahang yang dibuang.
Menurut Peter Llewelyn Evans, manajer Maxillofacial Laboratory Services dari rumah sakit Morriston Hospital, “Pencangkokan titanium tersebut pas atau cocok dengan rahang dari pasien yang mana dokter bedah tidak harus melakukan penyesuaian yang lain lagi. ”

Teknik ini terbukti sangat efektif sehingga tim dari rumah sakit ini telah mengadopsinya dan memasukkannya pada daftar penanganan (roster of treatments). Konsultan bedah yang menangani kasus Debbie Madhav Kittur mencatat bahwa lima prosedur telah dilakukan pada proses pembedahan tersebut, dengan prosedur keenam saat ini dalam tahap perencanaan.
“Proses ini telah menghilangkan ketidakpastian,”tambah Kittur.”Kita tahu secara pasti apa yang akan terjadi sebelum kita masuk ke dalam ruang operasi karena semua sudah dirangcang dengan komputer.”
Efisiensi adalah salah satu dari sekian banyak keuntungan dengan prosedur baru ini: yang mana teknik operasi tradisional akan membutuhkan waktu antara 8-10 jam, namun dengan teknik baru ini dapat menghemat waktu hingga dua jam. “Ini merupakan sebuah kemajuan besar,” kata Kittur.”Selain itu juga lebih baik secara estetika, pasien mendapatkan pembiusan dalam waktu yang lebih sedikit serta proses pemulihan yang lebih baik.”
Debbie setuju. ”Terkadang saya punya sedikit masalah ketika berbicara, karena saya harus memastikan pergerakan dari rahang,” tambah Debbie. “Tetapi, saya merasa lebih baik. Di satu masa, saya kurang nyaman dengan hal itu, tetapi saya semakin lebih baik sepanjang waktu itu.”

Sumber :http://www.3ders.org

Senin, 18 Desember 2017

Peneliti membuat objek 3D digital dari data hasil pemindaian 3D yang tidak lengkap.

Peneliti dari Universitas Saarland Jerman dan Institut Max Planck bergabung bersama Intel dalam mengembangkan pengkreasian objek 3D digital menggunakan hasil pemindaian data 3D yang tidak lengkap. Vconv-DAE adalah sebuah enkoder otomatis volumetric konvolusional yang mempelajari representasi volumetric dari data yang rusak.

Pemindaian 3D memiliki jangkauan yang luas dalam penerapannya, mulai dari teknik reverse (reverse engineering) di bidang otomotif dan sektor penerbangan, pengumpulan data anatomi untuk keperluan pembuatan kaki palsu, hingga mencetak hasil foto selfie.
Namun, ketika pemindaian 3D yang kita lakukan tidak lengkap atau terdapat gangguan dari hasil pemindaian, maka data yang diperoleh menjadi tidak berarti untuk dirender. Memang hal ini bukan sesuatu yang jarang terjadi: pencahayaan yang kurang tepat, gerakan selama pemindaian, dan faktor lainnya dapat menghasilkan model 3D yang buruk.
Cara terbaik untuk melawan masalah tadi adalah dengan mengeliminasi pada sumbernya, dengan berinvestasi pada peralatan pencahayaan yang tepat, tatakan yang berotasi secara stabil dan berbagai macam alat yang lain. Tetapi ketika pilihan ini tidak tersedia, maka perlu jalur lain untuk dieksplorasi.
Sebuah jalur potensial baru saja dikembangkan oleh sebuah grup peneliti yang memiliki banyak sumber dan kemampuan, yang terdiri atas perwakilan dari perusahaan raksasa komputer Intel dan dua institut dari Jerman: Institut Max Planck dan Universitas Saarland di Saarbrucken.
Bersama-sama, tim multidisiplin ini telah mengembangkan VConv-DAE, sebuah enkoder pembelajaran bentuk volumetrik dari data yang rusak dengan mengestimasi grid dari voxel.

Peneliti tersebut mengatakan bahwa alat atau metode ini sempurna untuk mengatasi menghilangkan gangguan (noise) dan penyempurnaan bentuk yang dapat muncul selama penerapan pemindaian 3D.
“Walaupun teknologi pemindaian 3D telah membuat progres signifikan dalam beberapa tahun ini, tetap masih ada tantangan untuk mendapatkan gambar geometri dan bentuk dari sebuah objek yang nyata secara digital dan otomatis,” ucap Mario Fritz, pemimpin dari grup Scalable Learning and Perception dari Institut Max Planck.
Salah satu kelemahan dari perangkat keras berbasis Kinect adalah ketidakmampuan untuk mengenali secara akurat sebuah tekstur yang beragaam. Hal ini membuat permukaan yan terlalu bersifat refleksif, berbintik-bintik atau jika tidak masalah sulit untuk mengenali mungkin muncul pada data 3D yang tidak akurat-sesuatu yang mempengaruhi hasil cetak 3D.

“Hasil yang cacat atau tidak lengkap dari geometri 3D kemudian menghadirkan masalah yang nyata pada sejumlah aplikasi, seperti pada augmented reality, ketika bekerja dengan robot atau pada pencetakan 3D,” ucap Fritz.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, alat yang baru saja dikembangkan, yakni Vconv-DAE menggunakan sebuah jaringan syaraf pembelajaran dalam yang khusus untuk membangun model 3D dari himpunan data yang tidak lengkap.
Rahasia agar enkoder tersebut dapat sukses, menurut para peneliti itu adalah dengan menghindari kesalahan intuisif dari pemberian sebuah label untuk setiap objek:”hasil pelatihan sama baik dengan dengan representasi hasil, yang sangat kuat dan tidak perlu terkait dengan ide dari pemberian label dari objek,” mereka berpendapat, bahwa metode estimasi grid dari penempatan voxel mereka bekerja lebih baik.
Menariknya, teknik baru ini menawarkan performa yang kompetitif ketika digunakan untuk proses klasifikasi di samping itu juga memberikan hasil yang menjajikan untuk interpolasi bentuk.
Pada akhirnya, hal ini dapat berkontribusi pada sebuah generasi baru dari peralatan pemindaian 3D yang menyederhanakan perangkat keras seperti Kinect untuk memproduksi data 3D yang sangat akurat tanpa kehilangan satu pun informasinya. Hal ini, menurut peneliti itu, adalah hal yang lebih dibutuhkan dibanding sebuah harapan.
“Di masa mendatang, adalah sesuatu yang mungkin untuk mengambil gambar dari objek dunia nyata secara sederhana dan cepat dan mengerjakan dalam bentuk proyek yang realistis hingga mengubahnya menjadi bentuk dunia digital, ” kata Philipp Slusallek, profesor grafik komputer dari Unversitas Saarland dan scientific director dari Pusat Riset Jerman untuk Kecerdasan Buatan (DFKI).
Slusallek saat ini adalah tokoh yang memimpin proyek penelitian gabungan eropa, “Distributed 3D Object Design” DISTRO, sebuah jaringan yang membawa bersama laboratorium terkemuka pada Komputasi Visual dan Grafik Komputasi 3D di seluruh eropa dengan tujuan dari pelatihan adalah membentuk generasi baru dari peneliti, ilmuan, dan para pengusaha di bidang desain objek 3D terdistribusi, modifikasi dan perakitan.

Sumber:http://www.3ders.org

Jumat, 15 Desember 2017

Desain sel surya yang lebih efisien yang terinspirasi dari sayap kupu-kupu hitam dan cetak 3D.

Pernakah Anda mendengar teori tentang sebuah sayap kupu-kupu yang "mengepak" di salah satu bagian bumi dan kemudian mengakibatkan badai di bagian bumi yang lain? Saat ini perkembangan cetak 3D dipengaruhi oleh oleh hewan berwarna lebih indah yang masih merupakan kerabat dari golongan ngengat ini. Hewan ini dapat membuktikan kontribusi besarnya pada masa depan dari iklim kita, dan dalam kasus ini, kupu-kupu tidak perlu melakukan hal apa pun.
Sebuah tim peneliti dari Caltech dan Institut Teknologi Karlshure Jerman mendapat ide dari struktur sayap kupu-kupu untuk mendesain panel surya yang inovatif. Sehingga dapat menyerap cahaya lebih efisien lagi.

Sebagai sumber energi yang terbarukan dan bersih, kita bisa melakukan banyak hal yang buruk daripada matahari. Untunglah sel photovoltaic mampu menyerap cahaya dalam jumlah yang besar untuk mengubahnya menjadi daya selama bertahun-tahun.
Pengaruh bahwa hal ini dapat digunakan untuk iklim kita masih kecil, karena keterbatasan efisiensi dari alat-alat penyerapan yang mana energi panas matahari masih relatif mahal sekalai dibanding dengan sumber energi tradisional, dan hal ini tidak diterapkan sesering mungkin. Sel surya yang menggunakan film yang tipis, khususnya, masih kurang pada bagian bagaimana agar alat itu dapat menangkap cahaya dengan baik.
Para peneliti secara konstan sedang mencari cara untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan ini dan membantu menjaga lingkungan alami ini dengan lebih efektif lagi, sehingga apa tempat yang lebih baik untuk mendapat inspirasi dari bumi kalau bukan dari bumi alami itu sendiri?
 Karena itu munculah, kupu-kupu hitam. Secara ilmiah memiliki nama Pachliopta aristolochiae, yang merupakan anggota famili Lepidoptera dari serangga alami Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan mempunyai sebuah struktur sayap yang unik sehingga dapat membawa pengembangan sel photovoltaic kecil yang lebih efisien. Sayap itu dilapisi oleh sisik kecil, yang dapat memanen cahaya matahari pada sebuah jangkuan yang lebar dari berbagai sudut dan panjang gelombang yang berbeda-beda.
Sisik-sisik ini dapat menjadi kunci dalam mendesain miniatur panel surya di masa depan dan tidak seperti kebanyakan proyek penelitian insinyur canggih yang lain, Mother Nature menyediakan jasa desain panel surya itu secara gratis.

 “Desain struktur dari sayap-sayap kupu-kupu hitam secara simultan menyediakan kestabilan mekanis yang baik ketika memanen cahaya dengan efisiensi yang luar biasa,”kata Radwanul Siddique dari Caltech , salah satu penulis utama dari jurnal berjudul “Bioisnpired phase-separated disordered nanostructures for thin photovoltaic absorbers” yang diterbitkan baru-baru ini di Science Advances.
Terinspirasi dari fisiologi kupu-kupu dan teknik cetak 3D, Siddique dan timnya memutuskan untuk menciptakan sebuah model 3D virtual dari sayap serangga, berdasarkan gambar mikroskopknya.
Tim kemudian menghitung kapasitas penyerapan cahaya yang sayap miliki agar memahami lebih baik lagi sifat optik dari sayap itu. Setelah itu, langkah logis selanjutnya adalah membuat beberapa sel surya dari bahan silikon yang meniru struktur dengan lubang berpori sangat kecil (nanohole) dari sayap. Pengujian yang telah dilakukan pada panel ini, menunjukkan penyerapan cahaya meningkat hingga 200 % dibanding model struktur sebelumnya.

Para peneliti ini akan melanjutkan pekerjaan mereka pada desain dari penyerap photovoltaic mereka, dengan harapan akan meningkatkan kemampuan pengumpulan cahaya lebih jauh lagi. Salah satu cara yang mereka pikirkan mereka dapat kembangkan pada struktur itu akan di optimalkan pada bagian dari engraving profile, sebagai contoh;dengan sebuah model piramida terbalik daripada menggunakan model berbentuk tabung.

Insinyur dari Technical University Eindhoven membuat jembatan menggunakan printer 3D.

Insinyur di Belanda sedang menggunakan printer 3D yang mencetak beton untuk membangun jembatan cetak pertama di dunia. Jembatan tersebut dikhususkan untuk pengguna sepeda. Pihak kampus yakni Technical University di Eindhoven, sedang mengkonstruksi jembatan selama beberapa minggu ini dengan menggunakan bantuan robot dan sebuah kerangka bangunan. Jembatan itu akan berukuran delapan meter dan menggunakan delapan ratus lapisan dari beton dan mortar. Kampus tersebut sedang membangun jembatan itu di kota Gemeert yang nantinya terletak di sebelah dari patung Lady of Gemert-sebuah tetengger kota tersebut-. Karena jembatan pada umumnya berfungsi sebagai penghantar yang menerima beban, maka banyak yang meragukan bahwa jembatan cetak 3D itu akan tahan lama. Tim pembuat jembatan itu telah meyakinkan semua orang bahwa jembatan itu akan berfungsi sepenuhnya. Peneliti yang bergabung dengan tim juga telah menguji jembatan cetak itu dengan menggunakan simulasi model.

Peningkatan dari adopsi cetak 3D di bidang konstruksi bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Berterimakasihlah kepada teknik modern. Jembatan tersebut tidak memerlukan persiapan yan g intens atau scaffolding yang berat bagi para pekerja untuk berjalan di atasnya. Kemudian, dalam pembangunannya, tidak terlalu memerlukan usaha yang begitu berat bagi para pekerja. Bahkan mereka dapat melakukan pekerjaan itu sambil duduk. Keuntungan lainnya, adalah metode ini dapat memakai material yang murah dan berkelanjutan. Dengan material berbahan lebih murah, dapat mengurangi biaya dari investasi pada robot dan mesin lainnya.
Meskipun demikian, banyak pakar khawatir jika teknologi cetak 3D mengurangi pekerja. Para insinyur di tim ini, menilai berpendapat bahwa teknologi cetak 3D ini bukanlah suatu ancaman bagi para pekerja konstruksi. Karena menurut mereka seperti robot, masih memerlukan seseorang untuk mengoperasikannya, pekerja seharusnya dilatih ulang, bukan diberikan surat pemecatan. Pelatihan tadi dapat membantu untuk mengimbangi masalah yang disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan proses mekanis.
Para pekerja akan mempunyai kesibukan yang sangat berbeda dalam mengoperasikan robot-robot itu. Termasuk dalam membuat campuran semen yang memerlukan mesin, memogramkan mesin itu dan memperisapkannya untuk membangun. Di saat beberapa pekerjaan akan menjadi tidak lagi dibutuhkan, bukan berarti kesempatan lain tidak terbuka. Secara keseluruhan, tim dari TU Eindhoven optimis dengan masa depan dari teknologi ini.
sumber:3dprinting.com